Empat Contoh Cerpen Fiksi Mini atau flash fiction dengan Genre Metropop

Empat Contoh Cerpen Fiksi Mini atau flash fiction dengan Genre Metropop - Halo sobat Imyid, Kali ini kami akan memberikan beberapa contoh Cerpen Fiksi Mini atau biasanya disebut flash fiction dengan genre metropop. apabila sobat kebetulan sedang mencari cerpen yang sama dengan ini, maka kebetulan sekali bukan ? sobat dapat melihat dan membaca beberapa judul Cerpen tersebut. Inilah ke empat cerpen dengan genre Metropop. 


TIARA
Raka membuka matanya yang terasa berat. Sinar matahari yang begitu menusuk masuk lewat celah-celah jendela kamarnya. Ed Sheeran bernyanyi dari ponsel yang diletakkannya di atas nakas. Raka meraba-raba ke samping, samar-samar melihat layar 5 inchi perangkat canggih tersebut. Seketika matanya melotot.

“OH GOD! GUE TERLAMBAT!” 

Ia berlari menuju pintu kamar mandi. Asal mencuci muka lalu gosok gigi. Tidak ada waktu untuk mandi. Selesai urusan bersih-bersihnya, Raka langsung menyambar asal setelan di lemarinya. Lima menit waktunya untuk berganti baju. Setelah siap, dia langsung berlarian menuruni lantai apartemennya.
Dengan tas laptop di tangan dan handphone menggantung di telinga, Raka mencari taksi di depan apartemennya. Mobilnya sudah seminggu ini di bengkel, jadi selama itu pula dia harus bersabar naik kendaraan umum. Tapi sudah sepuluh menit menunggu, tidak ada satupun taksi yang berani lewat di depan Raka. Seakan-akan menghindarinya untuk sementara waktu. Sial, rutukknya dalam hati.
“Randy, kayaknya gue bakalan terlambat hari ini. Lo bisa ngebuka rapat dulu nggak pagi ini? Berapa lama… mm, paling lama setengah jam. Eh nggak, satu jam deh…. Apa? Lama bener? Lu tahu kan, secrowded apa Semanggi kalau pagi? Satu jam deh, nanti makan siang gue traktir lo Sushi Tei. Oke?” 
Raka berusaha bernegosiasi dengan bawahannya di kantor. Negosisasi yang agak alot, karena juniornya yang satu ini memang agak sulit kalau di mintai bantuan. 

Tepat ketika Raka mematikkan ponselnya, sebuah taksi berhenti tidak jauh darinya. Buru-buru dia menghampiri taksi itu.

“Maaf Mas, tapi taksi ini sudah ada yang pesan,” ujar si tukang taksi.

“Ih udah, antar saya dulu, Pak. Saya buru-buru nih.”

“Nggak bisa, Pak. Taksinya sudah di pesan. Kalau mau Bapak nunggu saya nganterin pelanggan dulu, baru Bapak bisa naik taksi saya.”

Grr, Raka mendesis geram. Bagaimana bisa dia menunggu lagi? Waktu adalah uang di kota besar ini. Dan menunggu sama saja dengan buang-buang uang. 

“Kalau nggak keberatan, Masnya bisa bareng saya. Saya lewat daerah Semanggi.” 

Tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang Raka. Dia menoleh. Ada sosok perempuan cantik di sana. Jumpsuit, heels, dan tas tangannya Raka prediksi harganya lebih dari seratus juta. Di dukung oleh hidung mancung dan tinggi yang melebihi perempuan Indonesia umumnya, Raka berani mengambil spekulasi kalau perempuan di belakangnya ini adalah seorang model. 

“Boleh, Mbak?”

Perempuan itu mengangguk.

Tanpa pikir dua kali, Raka segera naik ke dalam taksi. Perempuan muda itu menyusulnya tidak lama kemudian. Segera setelah pintu taksi di tutup, mobil berplat B itu langsung meluncur membelah padatnya jalan ibukota.

Raka segera membuka ponselnya kembali. Menelepon beberapa koleganya, bilang minta maaf karena tidak bisa menghadiri rapat. Lalu membalas beberapa email. Terakhir, dia mengabari Randy bahwa akan tiba di kantor sekitar 45 menit lagi. 

“Oke, terima kasih.” Raka menutup teleponnya. Panggilan terakhir dari sekertarisnya, mengabarkan ada sebuah surat masuk dari perusahaan mitra barunya.

“Sepertinya kamu orang penting, ya?”

Terlalu sibuk dengan gadgetnya, Raka lupa kalau ada manusia lain di taksi ini selain dirinya dan si sopir. Perempuan itu tersenyum manis ke arah Raka. 

Raka hanya tersenyum kecil. “Ada beberapa urusan di kantor yang harus diselesaikan pagi ini.”

Perempuan itu tertawa kecil. Mata hitmanya memandang milik Raka. “Kamu nggak pernah berubah, ya,” gumamnya kepada diri sendiri.

Raka mengerutkan kening. “Hm, maaf?” 

Perempuan itu menggeleng. Kemudian perhatiannya beralih pada supir taksi yang mengemudi di depan. “Pak, saya turun di depan saja.” 

“Eh, kok turun? Emang mau ke mana?” tanya Raka agak bingung. 

“Ke GI.” 

Taksi itu berhenti di depan sebuah halte bus kota. Perempuan itu membuka pintu di sampingnya lalu turun.

“Eh, GI kan masih jauh. Saya jadi nggak enak.”

Perempuan memandang Raka yang masih berada di dalam taksi, lalu tersenyum. “Nggak pa-pa. Aku bisa ketemu kamu lagi udah seneng, kok Raka.” 

Kening Raka berkerut. Sejak duduk di dalam taksi ini dua puluh menit lalu, tidak sekalipun mereka saling berinteraksi. Lalu bagaimana perempuan itu bisa tahu namanya? 

Namun ketika dia menatap sepasang mata sehitam jelaga itu lebih lekat, kenangannya mendadak muncul. Rambut berkepang dua itu. Kawat gigi warna merah jambu. Kacamata setebal tutup botol. Sepayung bersama di kala hujan. Senyum tulusnya….

“Tiara,” sebuah nama medadak muncul di otak Raka. Tiara. Gadis itu sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari kutu buku menjadi seorang sosialita ibu kota. 

Tiara tersenyum lagi. Senyum yang seharusnya sampai kapanpun tidak pernah Raka lupa. “Ternyata kamu masih inget aku, Ka.” Dia berhenti sebentar. Mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangan mahalnya, lalu meletakkannya di kursi sebelah Raka. “Sampai jumpa.” 

Setelah mengatakan itu, Tiara menutup pintu taksi di sampingnya. Si sopir tanpa perlu di suruh, langsung kembali mengijak pedal mobil. Meninggalkan perempuan itu yang melambai di belakang. 

Raka memandang sesuatu yang ditinggalkan Tiara di kursi sebelahnya. Sebuah gelang. Raka ingat betul, dia yang memberikan gelang itu kepada Tiara. Ada sebuah kenangan indah tersisa di sana. Tapi kenangan itu harus dirusak oleh sebuah surat pendek yang ikut ditinggalkannya. 

Kamu bilang, aku harus mengembalikan gelang ini ketika aku sudah tidak lagi mencintaimu, Ka. Kupikir sekaranglah saatnya. Melihatmu lagi, membuatku sadar kalau perasaan itu dulu hanya sebatas cinta monyet. Terima kasih untuk segala kenanganannya. Kamu tetap mantan terindahku.



MASA LALU
Sepasang mata tajam itu menjelajahi seluruh penjuru ruangan. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum yang sulit diartikan. Sesekali kepulan asap keluar dari mulutnya.
Tempat itu terlihat gelap dengan pencahayaan yang remang-remang. Lampu-lampu itu terlihat mempunyai beragam warna. 
“Kau masih merokok?”
Wanita itu menoleh. Seorang pria menatapnya dengan tatapan penasaran.
“Memangnya kenapa?”
Pria itu mengembuskan napas. “Merokok tidak baik untuk kesehatanmu. Terutama rahim.”
“Buktinya aku masih bisa melahirkan Rara.” Sang wanita yang memakai rok span hitam selutut dan blazer merah itu menyengir. “Kau yang membuatku begini. Karena kau menolak cintaku. Dan sialnya, aku harus bekerja di tempatmu. Jadi sekretaris pribadi, pula!”
“Apa... kau masih...,” gumam pria itu.
“Ya! Aku masih mencintaimu,” jawab wanita itu, lantang.
Pria itu mengembuskan napas lagi. Menatap wanita cantik yang baru berumur kepala tiga itu dengan perasaan tak keruan. Antara merasa bersalah, prihatin, kecewa, khawatir, dan berbagai prasangka buruk.
“Tapi, kau sudah punya suami,”
“Aku tidak mencintainya,” sahut wanita itu. Dia terlihat marah. Menekan puntung rokoknya di asbak sampai bara merah itu mati. “Aku terpaksa menikah dengannya karena dia pilihan ibuku.”
Pria itu hanya terdiam. Mendengarkan cerita yang keluar dari bibir wanita itu.
***
Bram melempar jasnya. Dia membaringkan tubuh di kasur. Dia masih mengingat kata-kata Sena, bahwa wanita itu masih mencintainya.
Bram mengembuskan napas. Dulu, saat mereka masih SMA, Sena memang dekat dengannya. Sebagai teman. Saking dekatnya, Sena sampai berani mengatakan pada Bram bahwa gadis itu mencintainya.
Sebenarnya, Bram juga menyayanginya. Tapi, Bram saat itu telah dijodohkan.
***
Sena menggoyang-goyangkan pinggulnya, mengikuti irama musik. Berusaha menghibur diri. Bram langsung pulang ketika Sena selesai bercerita.
Sena tidak peduli. Yang terpenting sekarang, Sena memikirkan sebuah rencana dengan matang. Rencana untuk menghancurkan perusahaan Bram.



CINTA BANYAK SISI
Derap langkah Riri menyapa gendang telinga Junior. Dia langsung menatap gadis bermata bulat itu dan menghadiahkan senyum termanis.

Riri menghadiahkan senyum tipis. Membuat jantung Junior berdegup kencang seakan siap melompat dari dadanya. Gadis manis itu duduk di depan Junior.

"Kamu mau makan, Ri? Aku traktir."

Riri menggeleng, "Junior. Kenapa hari ini Bagus nggak masuk?" tanya Riri tanpa basa-basi.

Junior menahan kesal karena gadis itu hanya menanyakan sahabatnya. Apalagi, Bagus pernah bercerita mencintai seorang gadis bernama depan Ri. Saat itu pembicaraan mereka terhenti karena kehadiran Pak Indra. Pemuda terkaya di SMA itu menyimpulkan gadis yang Bagus maksud adalah Riri.

"Dia sakit." Junior menatap bola mata Riri yang sebening kaca.

"Sakit apa? Dia dirawat di rumah atau rumah sakit?" Mata Riri melotot. Dia menggenggam tangan Junior. Membuat pemuda itu tersenyum.

Riani yang duduk dua meja dari sana, menatap Riri kesal. Menenggak segelas cokelat hangat hingga habis tak bersisa. Kekesalannya makin menjadi melihat senyuman Junior. Hatinya terasa perih seperti baru tergores belati. Gadis manis itu beranjak untuk membayar makanannya pada penjaga kantin. Kembali ke kelas sambil cemberut.

"Maaf." Riri menarik tangannya dari Junior. "Jadi ... Bagus dirawat di mana?"

"Di rumah."

Teet teet teet! Bel masuk berbunyi mengakhiri pembicaraan mereka.
***
Mobil hitam berhenti di depan rumah beton bercat abu-abu. Riri menatap smartphone di tangannya. Memastikan rumah itu sesuai dengan alamat yang diberikan Junior lewat BBM.

Riri ke luar mobil saat sebuah motor matic berhenti di depan rumah bertingkat yang mewah itu. Riani turun dari motor.

Riri memencet bel. Bi Minah membuka pintu bercat cokelat.

"Apa Bagus ada?" tanya Riri dan Riani bersaman. Mereka saling tatap sekilas lalu sama-sama mengalihkan pandangan pada wanita bergaun hijau di pintu yang terbuka.

"Ada, Mbak. Kalian teman SMA Den Bagus, ya?" tebak Bi Minah.

Bersambung.

"Iya," koor Riani dan Riri.

Bi Minah mempersilakan kedua gadis berseragam SMA itu masuk dan duduk di ruang tamu. Dia pergi ke kamar Bagus dan memberitahu kedatangan teman SMA-nya.

Bagus sumringah. Dia yakin pasti gadis itu yang datang. Pemuda tinggi itu ke ruang tamu. Sementara,Bi Minah pamit ke dapur menyiapkan suguhan untuk tamu tuannya.

"Ri.Makasih kamu sudah menjengukku." Bagus tersenyum.

"Iya, Bagus." Riri tersenyum manis. Hatinya berbunga-bunga.
Riani mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Aku pasti cepat sembuh kalau kamu mau jadi pacarku, Riani." Bagus menatap bola mata Riani.
Riani mengangguk.
"Jadi ... Ri yang dimaksud Bagus saat ngobrol dengan Junior waktu itu dia, bukan aku?" gumam Riri dalam hati sambil menatap Bagus yang tersenyum senang.



Jangan Nikahi Dia! 
Malam ini aku berjanji dengan temanku untuk makan malam di sebuah restoran yang super mewah. Temanku ingin memperkenalkanku dengan calon suaminya. Kata dia, calon suaminya sangat tampan, kaya pula. Tetapi jangan salah, kekayaannya bukan ia dapat dari orang tuanya, melainkan hasil usahanya sendiri. Ia mendirikan sebuah bisnis--entah bisnis apa, aku juga tidak paham-- yang sekarang tengah berkembang pesat. Well, sebenarnya aku juga penasaran seperti apa orangnya. Temanku, Sarah selalu memuja-muja pria itu. Ditambah diusia pria itu yang cenderung masih muda, yaitu duapuluh-lima, ia sudah mampu mendirikan bisnis yang sukses, bukankah itu cukup membuatku penasaran? Kata Sarah, lelaki itu bernama Reno. Ya, nama yang tidak asing di telingaku. Namun, yah. Mungkin aku salah. 

Aku menunggu cukup lama, mungkin sekitar limabelas menit. Hingga akhirnya kujumpai Sarah yang berjalan menuju tempat duduku. Ia menggandeng seorang pria yang sudah tak asing denganku. 

DEG! 

Aku terpaku. Kini, jantungku berdegup kencang, seperti suara drum dari musik heavy metal. Gigiku pun tak mau kalah, mereka terus bergemertak, menciptakan bunyi berisik di telingaku. Juga tanganku yang tak mau berhenti bergetar, ditambah keringat dingin yang terus mengucur dari keningku. Entah mengapa seluruh anggota tubuhku tak ingin diam dan berkompromi denganku. 

Aku terus menatap langkah mereka yang semakin mendekatiku. Aku gugup. Tak tahu harus berbuat apa. Dalam hati, aku bertanya kenapa bisa begini? Ini sangat mustahil. Dengan gemetar, kusahut tas hitamku. Aku segera bangkit dan berlari ke pintu keluar. Aku tak sanggup melihatnya. Mungkin Sarah akan bertanya apa yang terjadi denganku,tapi sudahlah aku tak peduli. Aku sudah membulatkan tekadku untuk segera pulang. Kuakui Reno memang sangat tampan. Terlampau tampan malah. Dia tinggi dan memiliki kulit eksotik. Tubuhnya kekar juga berwibawa. Aku tahu dia, aku sangat mengenalnya. Kini ketika aku di hadapannya, aku hanya bisa menunduk takut.

Saat sampai di mobil sedan putih milikku, aku segera meloncat masuk kedalamnya. Lantas kukunci rapat-rapat semua pintu dan jendela mobil. Dengan cepat kukeluarkan smartphone-ku dari tas jinjingku. Setelah sedikit kubenahi sackdress brokat yang kukenakan serta melepas kedua kaos tangan hitam se-siku, aku langsung menelepon Sarah. Tanganku masih saja gemetar. 

"Halo! Ratih! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau lari seperti tadi? Kau kan mau kukenalkan dengan Reno, calon suamiku!" omel Sarah setelah telepon tersambung. 

Aku menarik napas panjang, "jangan nikahi dia! Aku mengenalnya! Kumohon jangan nikahi dia!" 

"Reno? Kau mengenalnya? Memang kenapa aku tak boleh menikahinya? Apa dia mantanmu?" 

"Lebih buruk dari itu!" 

"Apa?" 

"Dia adalah pemilik perusahaan dari tempatku bekerja dulu. Namanya Reno Bastian kan? Putra dari Pak Yuswandi Bastian?" 

"Ya, kau benar. Lalu apa masalahnya huh?" Terdengar Sarah membentakku, kesal barangkali. 

Sekali lagi aku menarik napas panjang. 

"DIA SUDAH MATI!" kataku cepat--dan ketakutan dan gemetar. 

"Apa!? Jangan bercanda!" 

"TIDAK! Aku sendiri yang membunuhnya! Dia mati di tanganku! Pisau! Aku menusuknya dengan pisau! Tepat di jantungnya! Iya! Dia bahkan melakukan perlawanan, dia mencakar tanganku! Sampai sekarangpun cakaran itu masih berbekas! Makanya aku selalu mengenakan kaos tangan panjang bukan?! Aku sendiri yang memastikan, dia meregang nyawa tepat di depan mataku!! Dihadapanku sendiri!" 

Brengsek! Kenapa aku harus menceritakan semuanya?! Dasar bodoh! Aku bodoh! Karena ketakutan aku harus kelepasan bicara pula! Kupukuli kepalaku sendiri, menyesali semua perkataanku.

Sejenak, Sarah terdiam. Beberapa saat kemudian..., 

"AAAAAARRRGHH!" terdengar suara jeritan dari smartphone-ku. Ada apa dengan Sarah? Apa yang terjadi padanya? Terdengar pengunjung-pengunjung lain juga berteriak--ketakutan, mungkin. Suaranya sangat gaduh. Tak berpikir lama, kumatikan teleponku dan segera bergegas pergi meninggalkan restoran itu. 

Kuharap Sarah baik-baik saja. Atau aku harus berdoa sebaliknya? Dia sudah tahu rahasiaku bukan? 

Berarti, Sarah selanjutnya!



No comments for "Empat Contoh Cerpen Fiksi Mini atau flash fiction dengan Genre Metropop"