5 Contoh karangan Fiksi yang Menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama (PoV1)

5 Contoh karangan Fiksi Sudut Pandang Orang Pertama - Pada kesempatan kali ini IMYID akan memberikan contoh Karangan fiksi atau bisa disebut dengan Fiksi Mini (Flash fiction) akan tetapi contoh kali ini menggunakan PoV 1. apakah sobat tau PoV 1 ? Pov adalah Point Of View atau biasa disebut dengan sudut pandang orang pertama. Point of View yang dilihat dari sudut pandang orang pertama ialah PoV yang menggunakan pronomina aku, saya, diriku, sebagai narator atau tokoh utama dalam cerita. Kelebihan sudut pandang ini ialah penulis bisa benar-benar mendalami karakter 'aku' dalam cerita karena seluruh argumen dan penciptaan narasi akan berasal dari pikiran satu tokoh tersebut. Tapi kelemahannya, penulis jadi kurang bebas mendeskripsikan karakter masing-masing tokoh. 
5-contoh-karangan-fiksi-yang-menggunakan-sudut-pandang-orang-pertama-atau-point-of-view-1
Nah, sudah tau akan apa itu PoV 1 ? kelebihan serta kekurangan. selanjunya IMYID akan memberikan contoh karangan Fiksi dengan menggunakan sudut pandang orang pertama seperti yang akan kita bahas. Siap - siap dengan Long Post ya,, karena ada beberapa contoh karangan dengan jumlah sampai seribu kata. akan tetapi manfaatkan contoh tersebut sebagai bahan pembelajaran. Inilah contoh Karangan Fiksi Mini dengan PoV 1 .

AYAH
Aku kembali menarik selimut keduaku. Berusaha menyesap setiap hangat yang dihadirkan. Sembari menerawang jauh memikirkan hal yang baru saja aku sadari, ternyata hidup lebih pekat dari lumpur duri yang menggeliat.
Kini aku telah bersikukuh. Tak peduli seberapa pantas diri ini untuk menghadapnya, kuputuskan untuk mencarinya. Seorang yang hadirnya begitu aku inginkan, meski hanya sekejap dalam denting waktu, aku begitu ingin bertemu Ayah. Tanpa sedikitpun rasa benci karena ia telah pergi meninggalkan kami, aku benar-benar tak peduli.
Esoknya, Bunda hanya mengawasiku dari balik pintu kamar ketika melihat pakaian-pakaian yang berserakan di atas ranjang. Tak tega sebenarnya meninggalkannya dalam kesendirian. Tapi aku yakin, Bunda akan tetap bisa bertahan. Aku selalu mengagumi setiap titik kekuatan yang dimilikinya, bagaimana ia harus membesarkan aku seorang diri, ditinggalkan oleh seorang yang begitu dikasihinya, dan tak diakui lagi oleh seorang yang melahirkannya. Bunda selalu berusaha bersikap tenang dan dewasa meski aku tau usianya masih begitu muda. Karena itu aku tak pernah ingin menyalahkan nya atas kesalahan masa lalu. Toh semua orang pernah berbuat salah, tak perlu sesumbar sebelum tahu bagaimana banyaknya kesalahan dalam diri sendiri.
Tak lama Bunda memanggilku pelan.
"Far, kamu benar ingin pergi Nak?" ucapnya sambil mengelus pelan helai rambutku.
"Iya ..., Farah ingin menemui ayah."
Aku berusaha kuat meski rasanya begitu tercekat menahan tangis dalam haru.
"Jangan lupa untuk selalu menjaga diri. Bunda tahu Farah seorang dara yang bisa bunda percaya." lirihnya lagi dalam sendu.
"Iya bunda." Bunda akhirnya mengizinkanku pergi meski ia tetap bersikukuh tak mau memberitahuku satupun identitas tentang ayah. Terlalu sakit. Begitu katanya.
Satu minggu, dua minggu, harapku tak kunjung mencapai angan. Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja part-time agar dapat menyambung hidup disini. Menjadi pelayan di salah satu cafe terkenal di tengah kota. Hidup mulai memberiku banyak pelajaran, bagaimana sulitnya untuk bisa mencari sesendok nasi, bagaimana sulitnya bertahan dalam kesendirian, dan bagaimana kesabaran begitu diperlukan untuk mencapai angan. Hingga masa pun terus berjalan, tak jarang banyak hal kecil yang membuatku goyah dalam pendirian. Rasa ingin berbagi. Aku tak begitu pandai mendeskripsikan.
Hingga pada suatu hari takdir membawaku pada seseorang. Mungkin Tuhan tahu, betapa aku membutuhkan seorang untuk bisa dijadikan sandaran. Namanya Alif Vidiarta, seorang pengusaha yang bisa dibilang cukup sukses. Beberapa kali ia datang ke cafe tempatku bekerja hingga akhirnya kami saling mengenal satu sama lain.
Wajahnya yang lumayan tampan dan penampilan yang selalu rapi membuatku hampir tak percaya bahwa usianya telah mencapai kepala tiga. Usia kami terpaut begitu jauh. Delapan belas tahun, namun aku selalu bisa nyaman setiap kali bertukar kata dengannya. Entahlah, sejak awal mengenal dunia kasih aku selalu menyukai seorang yang lebih tua dariku, ia bisa menjadi pelindung yang lebih terpercaya, begitu menurutku. Awalnya, aku pun sempat heran, mengapa ia belum beristri? Ah tapi sudahlah, yang terpenting kini aku tak lagi bosan menghadapi kelam dunia sendirian.
Kak Alif membuatku begitu berhasil untuk terlalu mengaguminya. Dalam setiap tutur, tindakan, dan kasih yang selalu dituangkan dalam kelembutan. Hingga kini sampai pada bulan ke-6 hubungan kami. Pernah suatu hari aku cemburu melihatnya berjalan dengan koleganya. Ia hanya menanggapi dengan tenang.
"Far, rasa ini masih terlalu padamu untuk bisa berpaling pada yang lain."
"Tapi apa yang aku lihat terlalu menakutkan untuk dibayangkan. Kamu tahu kan, bagaimana aku ...."
"Tak hanya kamu yang berjuang, Sayang. Aku pun harus banyak mengerti untuk membiasakan perbedaan ini." katanya dengan tenang.
Ah, ya. Mungkin aku yang terlalu banyak bersikap olokan untuk fikiran sekelasnya yang telah dewasa. Aku pun mulai banyak mengerti bagaimana egois dalam diri tak perlu dipelihara lagi. Kak Alif begitu mempunyai banyak cara untuk membuatku tenang. Seorang yang begitu membahagiakan. Dan kupercayakan apapun padanya. Hingga keinginanku untuk menemui ayah di kota ini telah pupus. Semua yang aku tinggalkan karena cintaku pada ayah tergantikan oleh seorang yang tak pernah kusangka akan hadir dalam saat-saat seperti ini.
Pada satu tahun hubungan kami, Kak Alif memberiku sesuatu yang tak biasa dibanding sebelum-sebelumnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah. Ah, dadaku serasa hampir meledak karena jantung yang berdegup begitu hebatnya. Katanya, "Jika setelah hari ini tak ada lagi kata kemudian, maka pada detik ini izinkan aku untuk melekatmu dalam pengabdian."
Jika ditanya bagaimana rasanya?
Sangat menyenangkan, sama seperti detik saat aku mengetahui aku masih memiliki ayah di dunia ini.
Bulan berikutnya aku memberanikan diri mengajaknya pulang untuk menemui bunda. Ia hanya mengiyakan dengan tenang seperti biasa. Saat di hari kami pergi, dalam genggamnya aku terus mengucap syukur. Aku hanya tak bisa membayangkan reaksi Bunda ketika kami sampai nanti, mungkin ia akan terkejut gadisnya akan dipersunting. Hmm, mungkin fikiranku yang terlalu risau. Kemudian detik-detik berlalu, hingga pada saat bunda membukakan pintu untuk kami, ia begitu terhenyak mundur melihat genggamku.
"Farah, bagaimana kamu bisa menemukan ayahmu?" ucap Bunda dengan tatap nanar.
Dan aku hanya menatap kosong tak percaya. Pada siapa aku harus mempersembah rasa? Apa yang harus aku perbuat?
----

PERANG DINGIN
Aku bukan ingin sombong. Mengomando tubuh sendiri yang sempoyongan dan sedikit letih pada lututku. Sangat susah. Bahkan menekuk pinggang ini, aku harus melakukannya sendiri. Dengan sigap mengabaikan rasa nyeri dan linu. Dua rasa yang aku benci dia hinggap di dalam tubuhku. Mungkin mereka bersikukuh menggandeng pinggang ini lalu menganggapku sombong. Asal tahu saja. Aku adalah panglima atas tubuhku sendiri.
"Astaga! Apa ini? Kanapa tumpukan soal ini masih rapi? Satu pun nggak ada jawabnnya." Kagetku melihat gentar di atas dipan kerjaku. "Baiklah! Aku nyatakan perang dengan kau, Soal!"
Genderang jam dinding dengan detik-detik waktunya menandai permulaan perang. Lampu temaram sedikit kuning menerangi dipan kerjaku. Medan perang sejati. Sudut-sudutnya adalah gunung-gunung LKS sekolahku. Yang pasti ku gondol setiap menemui raja pelajaran di kelas sekolah.
Senjataku, pena hitam. Iya. Jika ditanya pena apa. Pasti penaku ini sudah terbang. Karena nama penaku adalah seorang penerbang. Ini senjata ampuhku. Tebasannya mampu menghasilkan luka emas di setiap sasarannya. Buku dengan garis biru satu spasi, sasaran utama. Tetapi kali ini bukan hanya sekedar melukai sasaran. Ini adalah musuh. Sasaran dengan bom-bom kalimat tanya yang membuat otakku berputar 360 derajat untuk mencari celah. Celah itu adalah jawaban atas serangannya (soal).
"Apa yang dimaksud Naniousme Letorika?" Mulutku mulai menjajaki sebutir tanya di kertas. "Pertanyaan apa ini? Ya Tuhan. Bahkan aku pun gak tahu jawabannya."
Sontak aku kini terluka. Sebuah soal yang tak mungkin ku jawab adalah luka bagiku. Lukanya memang tidak terasa hari ini. Tapi luka itu akan berkecamuk esok.
"Hukumannya adalah menghafal persamaan teori dinamika secara lengkap. Dan yang tidak mengerjakan, adalah lari mengitari lapangan basket." Pekik guru Fisikaku. Dia memang agak galak. Hanya sebuah soal haruskah aku memulai lagi hal yang pahit dalam pelajaran. Menghafal teori dinamika? Kenyataannya memang begitu saat kemarin dia bersabda di depanku dan teman-teman di kelas.
Tak peduli sudah. Sekarang yang penting serang. Baju perangku, piama tidur yang terhiasi batik bunga-bunga bermekaran menjadi ciri khas bahwa aku harus mekar. Ku serang soal-soal dengan tinta penaku. Jawaban-jawaban tepat yang ku lakukan untuk menyerang. Mekar adalah semangat menyerang.
Kini ruangan ini mendingin. Apa karena malam juga ingin menyerangku?
Benar. Sial. Malam kini juga berperang denganku. Padahala aku tidak menantangnya. Dia masuk saja dalam medan perang. Terlebih soal-soal ini baru separuh yang telah ku taklukkan.
"Aooommm.." aku menguap.
Celaka malam memantraiku. Mantra tidur ini sangat kuat. Tanganku serasa lemas memegang pena. Otot-ototku kian melemas pula. Kadang kepalaku ini mengangguk dalam kantuk yang tak kusadari. Terasa berat. Kepalaku rasa ingin jatuh akibat mantra malam. Mataku juga mulai sayup. Sedikit sedikit mulai mencoba untuk tenggelam dalam lelap.
Tubuhku kini lemas. Aku kalah dalam perang. Tergeletak mati di atas dipan kerja. Tak bertenaga. Semuanya telah sirna. Aku jatuh dengan piamaku.

Rangkaian Bunga
Malam itu malam minggu, aku sudah berpakaian rapi dan nyetil, tak lupa aku menata rambutku dengan minyak rambut kesayanganku agar terlihat menarik dan klimis. Sudah kupersiapkan segala sesuatunya untuk mengajak seorang gadis nan cantik jelita dengan kulit kuning langsat, tinggi semampai, rambut panjang sebahu bergelombang yang akan kutemui nanti. Gadis itu bernama Lita. Ya, aku mengenalnya dari temanku. Lita berumur lebih muda dari aku. Bisa dibilang Lita adalah adik kelasku. Aku dan dia beda sekolah. Malam itu aku akan mengajak Lita nonton ke bioskop. Setelah menghabiskan waktu selama 3 jam nonton dan jalan-jalan berkeliling kota, kuantar Lita pulang, sesampai depan rumahnya kuberikan rangkain bunga yang telah kubeli sehari yang lalu dari toko bunga.
“Ini untukmu,” kataku sambil memandang ke arah matanya yang teduh itu.
Kebetulan malam itu sedikit gerimis yang mengundang suasana menjadi semakin romantis.
Dengan wajah berseri Lita menerimanya “Wah, indah sekali bunganya, terimakasih ya, Mas.”
"Tak perlu berterimakasih, Dik harusnya aku yang berterimakasih kepadamu, karena sudah mau menemaniku nonton.” Begitu ujarku kepada gadis yang tengah menatapku dengan wajah berseri dan sedikit malu-malu itu.
“Ya sudah, aku pamit pulang, Dik,” pamitku kepada Lita yang masih saja terpaku memandangiku dengan pipinya yang masih merah.
Iya, Mas hati-hati di jalan, nanti kalau sudah sampai kabari aku, ya,” pesan Lita sambil melempar senyumnya yang manis kepadaku.
"Ya, tentu, Dik.” Jawabku sembari menaiki motorku.
Tak lama kemudian sampailah aku di rumah. Aku pun segera masuk ke kamar dengan perasaan bahagia seperti habis menang undian. Ponsel di saku celanaku berbunyi, ada pesan masuk rupanya. Tak salah lagi pasti itu pesan dari Lita. Ternyata memang benar. Lita sudah sms aku duluan.
“Sudah sampai, Mas? Kalau sudah sampai segera ganti baju dan beristirahat, Mas. Selamat malam." Begitu isi pesannya.
Tanpa pikir panjang, aku pun segera membalasnya “Sudah, Dik. Iya Dik Lita selamat malam juga.”
Kemudian kuletakkan tasku, aku mencopot jam tanganku sambil melirik ke arah meja tempat dimana aku meletakkan bunga-bunga yang sudah dirangkai oleh toko bunga di tempat aku membeli bunga yang sama dengan bunga yang kuberikan kepada Lita.
“Bunga-bunganya masih segar.” Batinku berkata sambil tersenyum.
"Siapa lagi ya gadis yang akan kukencani untuk besok malam,” gumamku pada diriku sendiri.
“Ternyata diperhatikan oleh banyak gadis adalah hal yang sangat menyenangkan.” Pungkasku kemudian sambil menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur.
 -----
MISTERI SEBUAH NAMA
Teeet teeet teeet! Bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi. Bu Halida baru saja keluar dari kelas. Pak Handoko, guru Geografi memasuki kelas kami sambil mengucap salam. Dia meletakkan buku di meja. Mengambil spidol. Menulis di papan tulis.
"Hari ini kita akan membahas tentang batu bara."
"Rizki. Namamu disebut tuh," celetuk Andri.
Celetukannya disambut derai tawa teman-teman sekelasku.
"Batu baranya ada di sini, Pak," sahut Dion.
Pak Handoko mengendalikan keributan semua siswa. Aku cemberut karena kesal selalu menjadi ledekan teman-teman sekelasku. Semua itu hanya karena namaku Rizki Batubara dan berkulit gelap.
"Apa ayah sangat bangga dengan pekerjaannya di pertambangan batu bara hingga namaku juga ditambahkan kata batu bara?" gumamku dalam hati.
Pelajaran dilanjutkan. Kami mendengarkan penjelasan Pak Handoko dengan serius.
Hari ini, aku tidak masuk sekolah karena demam dan sakit kepala. Ibu mengurusku dengan telaten. Dia menyiapkan obat yang baru kami dapatkan di puskesmas, segelas air dan mengompres keningku.
Handphoneku berdering. Aku meraba-raba benda di samping bantal. Nama Andri tertulis di layar. Aku menekan simbol telepon berwarna hijau.
"Rizki Batubara, kenapa kamu tidak masuk? Kami miskin lelucon tanpamu," cerocos Andri.
"Tutup saja teleponnya kalau kamu hanya ingin meledekku," gerutuku kesal.
"Aku hanya bercanda. Semoga kamu cepat sembuh."
"Ya, terima kasih," sahutku malas dan langsung menutup telepon.
Terdengar suara seseorang mengetuk pintu luar. Ayah mengucapkan salam. Ibu bergegas membuka pintu. Mereka langsung ke kamarku. Aku pura-pura tidur. Lelaki paruh baya itu mengusap dan mengecup keningku. Dia langsung pulang setelah ibu mengabarkan keadaanku.
"Rizki sudah minum obat?" Ayah duduk di sofa hitam putih seperti zebra.
"Sudah." Ibu duduk di samping ayah sambil menyuguhkan teh hangat.
Aku masih mengintip di dekat pintu untuk mendengar pembicaraan mereka.
"Syukurlah." Butiran bening mengambang di pelupuk mata ayah.
"Ayah kenapa?" Ibu menatap wajah ayah lekat.
"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat kejadian dulu. Anak yang kita nantikan selama lima tahun justru kudapatkan di lokasi tambang batu bara dalam wujud bayi merah yang lucu."
"Ya, itu sebabnya kita memberinya nama Rizki Batubara." Senyum ibu mengembang.
"Bayi itu aku?" Aku memegang kepala yang sakit.
 ------
When You're Gone
Aku berdiri seorang diri di sebuah halte yang berada tepat di depan kampusku. Sesekali aku menengok jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kiriku. Berdiri, kemudian duduk lagi. Mengamati setiap kendaraan yang berlalu di depanku. 45 menit mengahabiskan waktu seorang diri, ahh membosankan.
Sebuah honda jazz merah terlihat menepi di depan halte kemudian pengemudinya segera menampakkan diri menghampiriku yang dari tadi menantinya.
"Lama banget sih mas." Protesku.
"Duh, maaf yaa. Kamu udah nunggu lama? Tadi tuh macetnya ampun dehh."
Mas Dio, pria tampan dengan hidung mancungnya, dengan usianya yang 6 tahun di atasku, dia seperti sosok kakak yang baik bagiku meskipun sebenarnya tak ada hubungan saudara antara kami. Aku mengenalnya 4 tahun yang lalu. Kita menjadi semakin dekat. Tak jarang kita menghabiskan waktu hanya berdua. Entahlah dia selalu baik padaku, sesibuk apapun mas Dio jika aku yang meminta waktunya maka dia akan mengorbankan kesibukkannya untuk menemuiku. Aku merasa berbeda dari yang lain, mendapatkan kebaikkan dan perhatian dari mas Dio membuatku yakin jika dia mencintaiku. Rasa nyamanku semenjak awal pertemuan dengannya kini berubah menjadi cinta aku mencintai mas Dio.
Hingga suatu hari aku sakit dan aku meminta mas Dio untuk menemuiku. Aku tak bisa menahan semua rasa ini. Saat ini ia sedang meraba dahiku yang memang suhunya cukup panas karena demam. Ia mengusap pipi kananku.
"Hari ini aku sibuk banget, tapi kalau kamu sakit kaya gini, dan butuh aku, aku selalu ada buat kamu Ra, bakal selalu ada."
Wajar saja jika mas Dio sibuk, dia seorang pewaris tunggal Loyal Group sebuah perusahaan terbesar di kota ini. Dan saat ini ia telah menjabat sebagai Direktur Utama.
"Aku sayang kamu mas." Aku tahu tak seharusnya aku berkata seperti ini.
Setelah pertemuan itu, mas Dio tak lagi menemuiku. Hingga 2 bulan berlalu ia belum juga menemuiku, semua panggilan teleponku tak pernah mendapat respon. Mungkin ini salahku yang telah lancang mengungkapkan isi hatiku yang memang sudah tak sanggup ku pendam.
Sore yang teduh, aku tak percaya ini, seseorang yang sangat aku rindukan berada di hadapanku. Mas Dio menemuiku dengan membawa sebuah boneka besar berwarna coklat sebagai permintaan maaf atas menghilangnya 2 bulan ini. Dia menjelaskan jika dia benar-benar sibuk dengan pekerjaannya, ia tak ada waktu meski hanya untuk menjawab telepon dariku.
Benarkah seperti itu? Selama 4 tahun ini dia selalu ada untukku, bahkan sesibuk apapun dia. Atau mungkin dia ingin menjauh dariku secara perlahan setelah mengetahui perasaanku padanya?
2 hari setelah pertemuan itu, aku merasakan rindu yang mendalam. Aku memberanikan diri meneleponnya.
"Hallo, mas Dio lagi dimana?"
"Dio lagi di Rumah Sakit, kondisinya kritis." Suara dari seberang telepon benar-benar mengejutkanku.
"Ini siapa? Mas Dio kenapa?" Butiran basah membasahi pipiku.
"Aku yang dari tadi nemenin Dio, kalau mau tahu kondisinya, kamu kesini aja."
Aku berlari kecil menyusuri koridor Rumah Sakit.
"Kamu Rara?" Tanya seorang perempuan cantik yang berada di depan pintu nomor 5.
"Aku yang tadi jawab telfon kamu." Imbuhnya.
"Mas Dio kenapa mbak? Dia kenapa?"
"Dia telat cuci darah kondisinya semakin lemah."
"Cuci darah?"
"Kamu gak tahu? Kalo ginjal Dio bermasalah? 2 bulan ini kondisinya semakin lemah. Seharusnya dia melakukan transplantasi ginjal tapi kita belum menemukan pendonornya"
Penjelasan perempuan tadi bagai kilat yang menyambar hatiku. Aku terperosot dari tempat berdiriku, aku terduduk lemah didepan pintu. Kakiku lemas sekali, dunia seperti berhenti berputar. Aku menangis sejadinya. Aku melangkah berat memasuki ruang itu. Kini terlihat dengan jelas tubuh yang terbaring lemah.
"Mas Dio kenapa? Mas Dio bohong sama aku? Mas Dio gak sibuk kan selama 2 bulan ini? Mas Dio sakit kan?" Air mataku masih terus meleleh.
"Jangan sedih Ra, aku baik-baik aja."
"Mas Dio harus sembuh, bangun mas, bangun buat aku." Aku menggenggam kedua tangannya. Air mataku jatuh tepat di punggung tangan mas Dio.
Ia nampak membuka matanya kembali, tersenyum lemah menatapku sebelum akhirnya memejamkan mata untuk selamanya.
Mas Dio pergi, ia telah pergi untuk selamanya.
3 hari setelah kepergian mas Dio, perempuan yang berada di Rumah Sakit itu menemuiku.
Kini kami duduk bersebelahan pada sebuah sofa di ruang tamu rumahku. Meski dengan mata yang sembab, dan tubuh yang lemas, aku tetap menemuinya. Ia memberikan surat yang mas Dio titipkan untukku.
Surat itu berisi ungkapan perasaan mas Dio untukku. Ternyata sejak awal pertemuan kita, dia hanya mengganggapku sebagai pengganti adiknya yang telah tiada 7 tahun yang lalu. Itulah sebabnya dia selalu mengorbankan kesibukkannya untukku. Seiring berjalan waktu, semua rasa itu berubah menjadi cinta. Mas Dio juga mencintaiku. Dalam surat itu ia juga ingin menyampaikan sesuatu namun ia tak sanggup, maka mbak Nina yang akan menyampaikan sesuatu itu padaku. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa mas Dio memendam cintanya untukku, alasan mengapa ia tak sanggup mengungkapkan cintanya padaku.
 "Apa yang pengin mas Dio sampein ke aku mbak? Sampe mas Dio gak sanggup bilang sendiri ke aku?"
"Oke, aku bakal ceritain semuanya dari awal sampai akhir."
"Mungkin aku akan cerita mulai dari siapa aku." Nina melanjutkan ceritanya.
Aku menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya.
"Kamu tahu aku ini siapanya Dio?" Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Nina.
"Aku... Aku tunangannya Dio." Nina tertunduk tak sanggup menatapku yang berada di sampingnya.
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Lagi-lagi petir menyambar hatiku.
"Kita di jodohkan sejak umur 17 tahun. Sampai dengan usia kita yang sudah 27 tahun, Dio masih belum bisa mencintaiku. Dia selalu menolak perjodohan ini, tapi tidak dengaku, aku mencintai Dio." Nina mulai terisak lagi.
"Kita sudah bertunangan 6 bulan yang lalu, Dio selalu mengundur pernikahan kita dengan alasan penyakitnya. Padahal aku tahu, bukan itu alasan sebenarnya. Dio masih menjaga hati seseorang dan seseorang itu kamu. Sampai akhirnya kondisi Dio semakin lemah, aku yang merawatnya selama ini, tentu saja dengan harapan suatu saat Dio bisa membuka hatinya untukku selama aku merawatnya. Aku selalu menemani saat dia cuci darah, control, bahkan hampir setiap hari aku mendatangi rumahnya, tapi sayang, bukan aku orang yang berada disampingnya saat dia menutup mata untuk selamanya. Sampai dengan kemarin, saat-saat terakhir Dio disitu aku sadar cinta gak bisa dipaksa sekalipun aku telah melakukan yang terbaik, sekalipun aku telah mengorbankan hari-hariku untuk merawatnya, tetap saja Dio tidak bisa mencintaiku."
Andai mas Dio mengatakan yang sebenarnya, aku tak akan mungkin menghancurkan harapan mbak Nina untuk menikah dengan mas Dio. Namun percayalah mas, rasa ini akan tetap, sampai kapanpun. Tenanglah disisi-Nya. Aku mencintaimu.
------

Nah itulah 5 contoh karangan fiksi dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, menarik dengan cara membuatnya bukan ? sobat juga pasti dapat membuatnya jika sudah mengerti dengan apa yang dimaksud dengan point of view atau sudut pandang orang pertama, dan mungkin anda akan membuatnya lebih baik lagi. #Tssaah... Sorry For long Post, Hope You Enjoy. ... 
Selamat Mencoba.... 
Related search : Pengertian Point of View 1 beserta, contoh cerpen dengan sudut pandang orang pertama, arti sudut pandang orang pertama, pengertian pronomina, contoh cerpen fiksi 2017, cerpen 2017, cerpen terbaru 2017, karangan fiksi Point of View satu, PoV 1 flash fiction

No comments for "5 Contoh karangan Fiksi yang Menggunakan Sudut Pandang Orang Pertama (PoV1)"